ARAH DAN JALAN

Untuk kamu yang pernah searah lalu terpisah.

 

Dulu, aku kira kita adalah dua orang asing yang terjebak dalam hubungan yang rumit. Dua orang aneh yang selalu salah paham satu sama lain. Kamu masih ingat bagaimana aku menunggui malam, saat kamu berharap pagi segera datang. Saat aku membenci waktu yang terus berjalan, sedang kamu ingin waktu cepat berlalu. Kita dua orang asing yang sama tetapi berbeda keinginan. Aku yang selalu melihat ke arahmu, sedang kau lebih memilih menatap ke arah lurus.

Kita pernah berada di satu jalan yang sama. Aku dengan setia selalu berada di belakangmu, sedang kau terus berjalan tepat di depanku. Aku selalu bercerita tentang hari-hari yang melelahkan, sedang kau memilih untuk tetap diam.

Perjalan panjang yang kita lewati rasanya tidak pernah membosankan untukku, bahkan menatap punggungmu sudah menjadi pemandangan favoritku.

Sampai, aku ingin mencoba menjadi kamu. Bagaimana rasanya berjalan di depanmu. Aku ingin tahu apa saja yang selama ini kau lihat dari sini. 

Aku lupa, kamu tak terbiasa melihat punggungku. Harusnya kau bilang bahwa kamu benci berada dibelakang, aku akan mengalah untukmu. 

 Namun, kamu memilih berhenti. Dipersimpangan itu, aku kira kamu mengambil arah yang sama denganku. Aku terus saja berjalan tanpa menoleh ke belakang. Hingga kurasakan hening dan sepi, aku baru menyadari kau tak lagi berjalan di arah yang sama denganku. 

Aku takut, aku sedih dan aku kehilagan arah. Aku terjebak antara aku harus lanjut atau aku kembali mencarimu.

Lama aku tenggelam dalam kebimbangan, hingga aku memutuskan untuk terus melanjutkan langkah berharap diujung sana akan ada jalan yang membuatku bisa melihatmu lagi. Aku terus berjalan, sendirian dengan perasaan sedih, takut dan rindu. Jalan ini begitu panjang dan terlalu jauh untuk ku tempuh sendiri.

Hingga sampai pada ujung jalan, kulihat dermaga tempat dimana semua singgah dan berlayar. Di sini terlalu ramai, terlalu bising, aku tak terbiasa dengan situasi ini. Tetapi aku tetap mencarimu ditengah padatnya manusia.

Aku berhasil menemukanmu, disana, kau tersenyum dengan indah. Senyum itu, tak pernah kulihat sebelumnya. Aku melangkah menujumu, dengan rasa bahagia dan suka cita luar biasa. Semakin dekat, semakin jantungkku berdegup tak karuan. Namun ternyata kau tak sendirian disana, ada seseorang yang menemanimu. Kalian berbicara dan bercanda begitu akrabnya.

Aku tersadar, apakah sudah selama itu waktu berjalan, apakah terlalu lama bagimu menungguku atau aku memang terlambat.

Aku berperang dengan pikiranku sendiri, lalu kau datang menghampiriku, dengan tangan yang tak lagi bebas. Ada tangan yang kau genggam dengan erat. Ekspresi apa yang harus kutunjukan kepadamu. Dengan senyuman, aku bersikap seolah aku baik-baik saja.

Kau bilang waktu terus berjalan. Awalnya aku tidak mengerti ucapanmu sampai kau menjauh dan pergi dengannya. Aku baru tersadar bahwa kau tengah pamit.

Kau pamit, dan tak kembali.

Realita menghantamku. Aku sudah terlambat., benar-benar terlambat.

 Aku lupa kau benci menunggu, dan kesalahanku membuatmu menunggu.

Aku hancur dan sakit bersamaan. 

Ditengah kebisingan dermaga aku terus meyakini diriku, bahwa aku masih akan baik-baik saja tanpamu.

Aku kembali berperang dengan pikiranku. Masih di tempatku berdiri aku terjebak antara merelakanmu dan mencari tempat baru, atau tetap disini dengan hati yang sekarat.

Komentar